Bagiku seni adalah titik, biarkan sejenak kulukis indahnya dunia ini dengan titik-titik yang bermakna.

Hanya di Kota Seribu Angkot!

source: jabar.pojoksatu.id
Selain dideklarasikan sebagai kota hujan bahkan kota beriman, sebagian pihak sepakat untuk menjuluki kota Bogor dengan julukan "Kota seribu angkot". Jika jam 6 kalian masih belum bisa pulang, ga usah khawatir dan harus tarik rambut, kerudung atau kuping penumpang lain buat rebutan. Kalian bayangin aja satu jalur angkot udah seperti jejelan tusuk sate. Tidak seperti di stasiun Bukittinggi, jam 6 kalian sudah harus siap-siap lolos dari desakan ibu-ibu pedagang konveksi di pasa Ateh, bapak-bapak  pasca ngabuburit dari Pasa Banto, pelajar yang bagian ketek seragamnya menguning karena lelehan deodoran di terjang banjir keringat, atau cabe-cabean (ada ya???) Bukittinggi yang habis "mancing" calon cowok idaman di pelataran jam gadang. Masuk angkot KUD (nama angkot) sudah seperti rebutan masuk pintu surga. Tidak ada yang mau mengalah, jikapun harus berdiri ya sudah yang penting sampai ke rumah sebelum Sungai Pua berubah jadi kota mati. Hanya ada cahaya lampu dan nyanyian jangkrik di malam menggigit. Dan selebihnya adalah bunyi dengkuran para penduduk.
Karena julukannya Kota Seribu Angkot, kamu akan temukan banyak angkot berwarna hijau (kota) dan biru (kabupaten) berseliweran kaya terjangan tsunami. Warna yang homogen ini berpotensi membuat penumpang hobi kesasar seperti saya harus menikmati rute berbeda setiap harinya dengan tujuan yang sama. Bahkan hanya untuk ke Botani, saya harus naik 08A dari Warung Jambu via BTM, terus ke pasar bogor dan berhenti di Tugu kujang. Padahal naik 09 saja, saya bisa lurus lewat jalan Padjajaran. Kejadian ini pada awal-awal di Bogor sudah seperti minum obat, harus rutin dan teratur. Selain kesalahan karena kekhilafan pribadi, ini juga difaktori oleh "kurangnya" kejujuran sopir angkot. Saya tanya 'Cibinong bukan?' Beberapa kali. Sang supir pun mengangguk. taunya pas kelewat Pagelaran dia nyalahin saya. Masih mending ada yang mau nganterin coba kalo mereka cuma ngomel dan nurunin di jalan, berapa rupiah lagi harus saya keluarkan untuk sampai dirumah.
Disamping itu, pengalaman yang sering saya alami adalah masalah kembalian. Saya heran kenapa tarif dasar angkot 3.500 di kota ini sering tidak berlaku sesuai dengan aslinya. Terutama jika kalian menggunakan uang 5.000 maka harga akan langsung fluktuatif. Bisa saja kalian dapat kembalian 1000 atau malah tidak sama sekali. Bahkan terakhir kali saya naik angkot, sang supir menyerahkan kembalian sebesar 700. Jujur saja saya agak kesal dengan ulah nakal beberapa supir kota seribu angkot ini. Entah mungkin saya boleh menyebutnya kota seribu koruptor mikro. Karena saya takut dituduh melakukan pencemaran nama baik, tiba-tiba nanti malam di grebek densus 88 dan besok pagi diumumkan sebagai teroris hanya karena mengeluh dan merusak citra kota beriman, baiklah saya tidak akan mengatakan kekesalan saya hanya dengan kalimat sederhana penghantar ke penjara. Lebih tepatnya saya hanya ingin mengeluh sedikit saja atas kejadian apes setiap naik angkot di kota Hujan.
Kasus ini sering saya ceritakan kepada saudara saya. Jawabannya seolah mendukung dan tidak berdaya dengan ulah nakal sang supir angkot. 'Besok-besok pake uang pas aja.' Kejujuran tidak mengenal nilai. Seperapaun rupiah yang diserahkan, seharusnya sang supir hanya berhak mengambil sebagaimana seharusnya. Kecuali jika memang tidak ada kembalian, ia bisa berterus terang. Tapi saya rasa mustahil sekali setiap hari mereka tidak punya kembalian sementara didekat kemudi angkotnya bersebaran uang receh. 
Saya terkadang sedih dengan mereka yang mencoba untuk jujur dan mengembalikan uang sesuai dengan hak saya. Mereka masih punya hati nurani dan kesadaran tinggi untuk membedakan haknya dan orang lain. Disaat supir lain bersikap seperti singa kelaparan minta makan terlebih lagi jika ongkos yang diserahkan kurang 500. Ironis sekali. Namun demikian saya masih bisa sedikit bernafas, meski banyak yang tidak jujur masalah kembalian, masih ada yang berusaha untuk menerapkan konsep kejujuran. Meski jumlahnya sedikit, setidaknya di kota beriman ini ternyata masih ada yang teguh dengan keimanannya.

No comments:

Post a Comment