Bagiku seni adalah titik, biarkan sejenak kulukis indahnya dunia ini dengan titik-titik yang bermakna.

Drama Yang Tak Berkesudahan

source : unsplash.com

Seperti tengah menonton serial drama, kedua mataku terus terfokus menyaksikan beragam orang diluar sana begitu tekun menjalani perannya dalam kehidupan ini. Menjelang lampu merah kulihat tiga pria berbaris begitu rapi tanpa seorangpun yang berusaha mengomandoi. Sementara tangan kanan berayun dengan semangat tangan kirinya memangkul pacul yang diujungnya digantungkan sebuah tas berbahan dasar goni. Senyum sumbringah dibibir merekaa mengalahkan sinar mentari pagi itu. Begitu semangatnya para pria itu meskipun ia tahu setelah langkah yang panjang ini sang pacul di pundaknya akan menguras tenaga. Namun ingatan akan anak yang tumbuh sehat dan istri yang selalu tersenyum harap menanti sang suami pulang dari pekerjaannya lalu kemudian dengan senang hati menikmati masakannya para bapak itu melupakan rasa lelah itu. Tidak beberapa lama kemudian mobil yang kutumpangi berlari meninggalkan potret dihadapanku.Namun hanya sepersekian meter karena macet berhasil memerangkap mobil ini. Sebelum rasa bosan meledakkan kepalaku, aku kembali mengedarkan pandangan dan menyaksikan kembali sekelompok orang yang sedang duduk berjejer di trotoar jalan. Sepertinya mereka baru saja melakukan aktifitas yang cukup berat. Sehingga bajunya setengah kuyup oleh genangan keringat dari puncak ubun-ubunnya. Nafasnya naik turun dan beberapa bagian tubuhnya berlumuran noda. Didepan mereka bertumpuk beberapa karung berisi tanah. Sudah tidak diragukan lagi, merekalah tangan terampil yang selama ini merawat kebersihan jalan dan kesuburan tanaman disepanjang jalan ini. Betapa berjasanya pekerjaan mereka bagi kesejahteraan dan kesehatan masyarakat pada umumnya. Namun usaha mereka tidak diikuti dengan  partisipasi masyarakat lain yang hanya tahu bersih dan mendapatkan kesejukan. Terutama mereka yang berkoar pedui kesehatan namun dibalik layar menjadi pemeran utama illegal loging. Mengaku peduli kebersihan namun dilain waktu menjadi pelaku tunggal pembuangan sampah sembarangan.
Dari pengamatan itu aku semakin terhanyut dan tiba-tiba memikirkan drama komedi yang sedang dipertontonkan pemerintah di senayan. Begitu mudahnya mereka berebut kursi selayaknya semut mendapatkan sebutir gula sementara rakyatnya masih saja didera penderitaan karena sistem berkarakter konyol di negeri ini. Disaat para bocah merengek kelaparan pemerintahnya nyenyak karena dongeng panjang pembahasan RUU yang hingga sekarang masih berupa wacana dan berstatus perencanaan yang tertunda. Disaat para para buruh berkuras air mata bermandikan keringat dan dijadikan mesin pencetak uang, para pemerintah berebut milyaran rupiah seperti tikus menemukan makanan.
Mengemas pemikiran dan realita yang kulihat akhirnya muncul sebuah kesimpulan  bahwa pekerja rendahan seperti mereka yang hidup bernafaskan debu dan asap jalanan apakah ada artinya dimata pemerintah? Apakah pemerintah pernah memikirkan orang seperti mereka sehingga kemudian mengurungkan niat untuk memperkaya diri sendiri dan merealisasikan program penyejahteraan masyarakat. Akankah mereka yang hidup dari ujung pacul itu dijadikan salah satu pertimbangan di Senayan sana ketika menyepakati pebangunan infrastruktur yang sejatinya hanya akan memanjakan bangsa elite negara ini sehingga bapak-bapak ini kehilangan "kantor" mereka. Ya beginilah drama di negeriku. Tanpa kusadari kebijakan yang selalu kami dengar dari media massa sejenis siksaan seorang ibu tiri terhadap kami anaknya "rakyat jelata" yang lemah terhadap hukum.

No comments:

Post a Comment