Bagiku seni adalah titik, biarkan sejenak kulukis indahnya dunia ini dengan titik-titik yang bermakna.

Mimpi bersahut Kenyataan


Sore ini tiba-tiba rindu memalung dihati dan memicu riak-riak tangis setelah sketsa wajah sahabat juang membayang didinding otak. Diantara orang hebat yang pernah ada, mereka adalah salah satu yang berkontibusi dalam pencapaian yang kuraih hari ini. Mereka senantiasa menupang tubuhku yang mulai oleng lantaran menyerah dengan keadaan yang melelahkan itu. Mereka tidak pernah bosan membimbingku untuk  menemukan udara segar dari sisi paceklik kehidupan ini demi menumbuhkan kembali semangat dan keyakinan bahwa aku sama seperti makluk lain, memiliki kelebihan yang membuatku hidup sebagai makhluk "asing".
Cerita pahit itu memang tidak perlu untuk dikenang karena hal demikian hanya akan meroreh lubang yang lebih dalam pada goresan luka. Namun secara pribadi cerita pahit bagiku adalah sebuah keharusan yang wajib dikenang demi menghargai takdir yang kumiliki hari ini dan menjadi evaluasi serta motivasi untuk keluar dari zona nyaman dan kata "biasa" dikemudian hari. Dahulu dimata orang-orang itu aku hanyalah sebutir debu yang hanya akan merusak keindahan lingkungan mereka. karena tugasku hanyalah menjadi bagian dari polusi sehingga wajib diberantas, bahkan diabaikan. Jangankan teman, mereka yang mengaku sebagai orang tua keduaku sendiri tidak mau tau kelebihan apa yang dimiliki anaknya. mereka hanya mementingkan murid-murid yang sudah memiliki sinar dan berlimburan cahaya dengan sinar itu, sementara aku sipencari sinar terus bertahan diantara keredupan dan mencegah keremangan ini memadamkan penglihatan orang serta mataku untuk menatap jauh kedepan.
Betapa menyakitkan ketika ia bertanya,"siapa disini yang mahir dalam menulis literasi?" lalu salah satu dari cahaya itu memancarkan sinarnya kearahku. Ia menganggap akulah spesiali bedah imaginasi sepanjang masa yang dimaksudkan guru tersebut. Namun raut wajah sang guru tiba-tiba keruh. tanda tanya besar membayang bersama kerutan-kerutan pesimisme dan apatisme ketika telunjuk itu tepat menuju kearahku. Ia tidak percaya pengakuan teman-temanku karena selama ini aku tidak pernah membekaskan goresan tintaku sehingga apa yang harus ia percayakan ketika teman-teman mengatakan akulah orang yang dicari oleh tanda tanyanya. andaikan ia bertanya, "mengapa selama ini saya tidak mengetahuinya?" dengan senang hati aku akan mengjawab, "karena anda dan sebagian budak "egoisme" telah membuat saya harus berbesar hati menerima penolakan kalian." mengapa tidak, ketika niat baikku terlaksana, karya yang kuciptakan dari perpaduan imaginasi dan keringat juang terlempar bersama kerumunan lalat dan sampah sisa makanan di tempat terkumuh sepanjang masa. Padahal sebelumnya aku berharap buah imaginasiku dapat disandingkan dengan karya-karya teman lainnya di mading. Bukan hanya mengintimidasi eksistensi karyaku, mereka juga sering mengolokku dan rekan senasibku. menggunakan sebelah mata dan selalu menimbang potensi yang kami miliki dengan keraguan, kebimbangan, dan kesombongan. Begitu menyadari betapa buruknya respon yang kuterima, akhirnya kuputuskan untuk tidak lagi berkarya selama almamater ini belum tanggal dari tubuhku. aku menjelma menjadi rembulan. indah ditengah kepekatan, menolak cahaya gemerlap dan bergerak dibalik persembunyian. Sampai suatu ketika timbul pernyataan negatif dibibirku bahwa aku ini hanyalah pecundang yang terlalu megah dengan rangkaian imaginasi. Tidak ada gunanya aku hidup jika hanya menambah deretan pecundang yang pernah ada dimuka bumi ini.
Ketika itu terjadi sekelompok obat datang meneteskan penyejuk ditengah gersang yang melumpuhkan semangatku. mereka mengangkatku jauh ketempat yang sepantasnya kutempati. Walaupun dimata orang lain aku hanyalah angka nol, namun bagi mereka aku adalah satu yang melengkapi kehampaan lingkaran. Setiap hari kami selalu bermegah dengan mimpi. Melewati hari-hari tersulit dengan terus bergantung kepada mimpi.
betapa indahnya ketika itu satu persatu diantara kami mengikrarkan mimpi masa depan. Wilda yang memiliki jiwa sosial tinggi dan selalu menjadi tokoh dalam forum diskusi membuatnya melemparkan keadaan itu kemasa depan. ia ingin diharinya nanti mengenakan seragam pengadilan, membela hak rakyat yang terzolimi, berjuang membawa keadilan. maka ketika itu ia menyatakan kepada kami dimasanya nanti ia akan menjadi seorang kuasa hukum. Setelah Wilda mengikrarkan mimpi, giliran Puji mendeklarasikan keadaannya dimasa depan.Ia begitu ingin menjadi seorang ekonom. bila tiba saatnya nanti ia akan mengembangkan usaha yang dimiliki oleh Ibunda tercinta, orang tua tinggal yang sekarang sudah memasuki usia senja. ia berencana untuk membuka butik dan memiliki toko yang menjual beraneka pakaian muslimah. Demi memuluskan mimpi itu Puji ingin mencuri ilmu berdagang yang inteligent dan memenuhi standar syariah. Pembicara selanjutnya mulai mengayunkan kuas dikanvas masa depannya. Hesti si imaginer yang berani mengomentari bangunan rumah orang secara terang-terangan selama perjalanan menuju ke sekolah ini berharap khelak ia bisa menjadi seorang arsitek. ia berharap jika masa depan sudah berada dalam genggamannya ia akan membangun berbagai jenis rumah yang memadukan etnik timur dan gaya eropa klasik. Setelah Hesti, giliran di pendiam Anti mulai mengetes corong mulutnya dan kemudian bicara secara blak-blakkan ditengah forum perancangan masa depan itu. Mengejutkan sekali, seorang anti sebenarnya memendam mimpi untuk menjai petugas medis, sedangkan pada kenyataannya ia terjebak dengan kitab usul fiqih, ilmu tafsir dan tata bahasa nahwu sharaf. Meski manusia lain menyatakan itu sebuah ketidakmungkinan, namun kami yakin ia bisa mewujudkan mimpi itu. karena aku bisa melihat itu dari binar yang berkilau-kilau dibola matanya. ia berharap jika khelak menjadi seorang perawat, ia akan membantu mereka yang tidak bisa memfungsikan tangannya untuk beraktifitas, menggerakkan kakinya untuk melangkah dan mengatakan keinginan untuk meminta sesuatu. betapa mulianya hatinya. Sorotan lampu kemudian mengarah kepadaku. setelah semua bermegah, forum terhening dan mulai memahami kegelisahanku. aku bingung harus mengatakan akan menjadi apa sementara ketika kukatakan aku ingin mnjadi seorang penulis saja tidak ada yang percaya aku bisa menulis kecuali mereka berempat. "Aku tidak tahu bagaimana masa depanku khelak. namun sampai saat ini aku masih berharap untuk bisa menjadi seorang penulis." tuturku ragu. Hesti, Wilda, Puji dan Anti mengulas senyum. tatapan mata mereka menembus ruang yang masih sempit wadahnya didalam hatiku. mereka berusaha memperluas ruangan itu sehingga ada tempat untuk harapan dan semangat bersemayam diruangan itu.
"Ayu. Aku yakin kamu bisa menjadi seorang penulis. tulisanmu bagus, aku suka sekali membaca tulisanmu. kamu tahu cerpen "Buatlah Cintaku Abadi", saking menyukai cerita itu aku sampai menangis membacanya. semangat ayu, ayo buatlah mimpimu menjadi nyata." itulah gabungan pesan yang menjadi wejangan mereka.
Sampai puncak terakhir dimasa putih-abu-abu aku masih bingung mau dibawa kemana masa depanku ini. Sejak awal aku sudah menyadari bahwa tempatku bukan di madrasah ini karena sejujurnya aku adalah anak IPS yang lebih suka meruntut kejadian masa silam, mempelajari peradaban, dan menganalisa keadaan, bukan sebagai siswa pondokan yang setiap harinya menghafal mufrodad, menjunjung kitab dikepala karena beratnya yang luar biasa. Tapi aku bersyukur mengapa orang tua memaksaku bergabung dengan lingkungan pesantren. agar aku menemui realita pahit ini yang nanti akan menjadi salah satu kebanggaanku ketika aku tumbuh menjadi orang besar. Dan Allah juga memperlihatkan betapa besar kasih sayang-Nya yang menyelamatkanku dari pergaulan remaja yang berantakan, tidak mengenal kata "malu" dan "sadar diri". Dan diakhir riwayat pendidikanku, tepatnya ketika Anti  dan rekan lainnya angkat suara, disitulah aku merasa tidak sendiri. pada dasarnya kami terdampar di madrasah ini bukan karena keinginan hati, melainkan kehendak takdir. Meski awalnya pahit, namun ketika bertemu satu sama lain kopi yang pahit itu kini terasa manis setelah disuguhi gula.
Persis di puncak masa Putih-Abu-abu, disaat semua orang bermegah dengan universitas favorit mereka dengan jurusan yang menurut mereka keren seperti, tafsir hadis, syariah dan usuluddin, aku tetap dengan caraku sendiri menatap masa depan. biarlah mereka memilih jalannya karena mereka punya mimpi untuk masa depan. aku akan tetap mengambil jurusan sastra Indonesia yang khelak akan membuatku lahir sebagai seorang sastrawati dan penulis literasi. tidak peduli apa tanggapan guruku bahwa jurusan itu tidak bagus bagiku. itu kan pendapat beliau karena belia tidak pernah tau apa minat dan bakatku. dikaca matanya aku hanya pantas menjadi seorang guru ngaji atau sejenisnya. Mengingat jurusanku adalah keagamaan yang tidak mempelajari IPS maupun IPA, azzamku untuk masuk universitas umum menciut. kegalauan mulai merasuki. Namun para sahabat tetap meyakinkanku bahwa aku bisa melalui semuanya.
singkat cerita meskipun sudah menuruti keinginan hati dengan mendaftar ke universitas umum, sehari sebelum tes SNMPTN tiba-tiba mulutku mengatakan aku tidak jadi ikut tes lantaran melihat pencapaian Grade yang kuraih ketika ikut SMART test ke Tazkia. keluarga mendesakku untuk meneruskan pendidikanku kesana, begitu juga orang tua asuhku. dia begitu semangat ketika kulihatkan hasil tes itu. bahkan tanpa banyak kata ia mengeluarkan uang 1.5 juta agar aku bisa membayar uang mukanya. Seminggu lamanya aku tidak bisa tidur dengan baik dan makan dengan teratur akibat memikirkan hal ini. namun ketika itu hati kecilku mulai berbisik, "ayu katanya kamu mau jadi penulis. tazkia itu kan punya perusahaan publish. bagaimana kalau kamu mencoba untuk masuk kesana. belajar ilmu yang banyak sebagai bekal untuk menulis, dan mencuri ilmu entrepreneurshipnya jika khelak muncul keinginan untuk membuka perusahaan publishing. sebenarnya tidak ada yang salah dengan takdirmu. hanya Allah punya cara sendiri mengarahkanmu menuju masa depan yang lebih baik. jika kamu masuk sastra Indonesia, aku yakin kamu hanya akan jadi penulis kelas teri yang membual dengan cerita klise. ketika kamu masuk tazkia, hasil tulisanmu minimal dapat dijadikan referensi keilmuan disamping juga sebagai hiburan." 
Disaat hatiku berkata iya aku akan kesana, selain orang tua yang paling senang adalah sahabatku. mereka silih berganti meyakinkanku bahwa inilah takdir yang diinginkan Allah agar aku bisa menjadi lebih baik. Dan merekapun berpesan agar nanti di Tazkia aku harus berorganisasi, dan menulis lagi. cukup sudah madrasah mematikan minat dan bakatku dalam dua hal tersebut.

Dan sekarang setelah dua tahun berlalu akhirnya aku bisa mewujudkan harapan teman-temanku. aku tidak menyangka akan bergabung di BEM STEI Tazkia kementrian Komunikasi dan Informasi, diberi amanah sebagai news maker. meskipun ini belum bisa kukatakan sebagai penulis, setidaknya sekarang karyaku menjadi santapan bacaan orang. Namun tujuan utamaku tidak akan pernah tergoyahkan sampai sekarang. aku harus mewjudkan mimpiku untuk melahirkan sebuah novel pada rentang tahun ini dan tahun depan. semua kudedikasikan bagi mereka, sahabat-sahabatku tercinta. Agar nanti ketika kuliahku selesai, ketika mereka bertanya apa kabarnya mimpimu? dengan semangat aku akan mengatakan," mimpiku luar biasa, sekarang aku sudah bisa mewujudkannya", dan pada saat itu aku akan mengeluarkan sejumlah buku bertuliskan nama-namaku

No comments:

Post a Comment