Bagiku seni adalah titik, biarkan sejenak kulukis indahnya dunia ini dengan titik-titik yang bermakna.

Andi si Apess!


Source: www.pinterest.com
Kesenyapan mengintip semangat dipagi cerah ini. Udara bebas yang menyebar disetiap sudut ruangan berembus merusuh ketika bangku yang bertebaran ditinggal penghuninya tak kunjung ditempati seorangpun juga. Dimanakah intelektual putih-abu-abu itu kini. Adakah udara ruangn lain yang lebih menyejukkan rongga dada mereka. Ketika kucoba bertanya kepada pria berseragam hitam itu, yang kudapat hanyalah senyumnya. Padahal aku tidak membutuhkan jawaban semacam itu disaat terancam masukrurmah sakit jiwa karena terinfeksi stres akut. Tapi ejenak kemudian aku lansung tersadar,”Maaf, punten bapak presiden.Tak  kira tadi orang lain...”sudut hatiku bergumam kearah foto diatas papan tulis itu.Lalu kabur keluar sebelm benda itu tiba-tiba hidup dan menjadi bapak presiden, lalu  a pun memprotes kelancanganku,meskipun aku tahu ia tidak setega itu padku yang tidak kalah tampan dan cute dari beliau.hehehe
Kuturuti arah hembusan angin, kudengarkan bisikan cahaya mentari agar dapat bertemu rekan sejawatku.Karena aku sudah tidak beradaya lagi untuk dimenyimpan tumpukan rindu yang kusimpan bersama koper bajuku ketika menjalani vonis masa tahanan selama 2 minggu di rumah sakit. Aku dilarang kemana-mana karena semua penyakit memperebutkanku. Sampai akhirnya aku aku ditipu sebuah penyakit amatiran bernama tipus. Entah apa maksudnya itu. Yang jelas saat pertama kali menangkap namanya, seola-olah mendengar kata”tikus”. Itulah alasannya aku menyebutnya penyakit amatiran karena namanya tidak keren dan terlalu datar. Jikapun nama itu dijadikan sebuah judul buku, aku yakin tidak akan ada yang mau melirik apalagi membelinya.
Kemana mereka? Belasan sudut kutempati, belasan tangga kunaiki, belasan ruang kumasuki, namun teman yang kucari tetap bersikukuh bersembunyi dibalik bayang semu. Beruntung saja seseorang memberi setetes air ketika aku terjebak dikegersangan gurun Sahara. Namun demikian, nyatanya ia mencoba merendamkanku ke samudera Atlantik dn melemparkn kelumpur Lapindo. Dengan wajah bersinar bak rembulan aku pun berkata:”Apa??? Jadi begitukah???”
Dengan jujur harus kukatakan padamu kawan, jika ternyata hari ini harus mundur dalam sekejap menjadi Minggu. Padahal tadi aku sangat yakin saat ini adalah Senin. Ya jika keputusannya begitu, apalagi yang harus kutunggu. Aku harus pulang sebelum seseorang mengintrogasiku lebih lanjut. Lagi pula keadaan wajahku saat ini sedang bagus-bagusnya mendapat tawaran dari ibu-ibu. Lalu ia pun dijadikan jus penambah darah.
Aduh rasanya ingin meraih jemuran yang berjejer dipagar itu demi menutupi wajahku. Pertanyaan warga sekitar mengecilkan nyaliku untuk melangkah pulang. Ledekan, teriakan, serta gelak tawa mereka membuatku tertekan. Tapi aku punya ide, kuperbaiki langkahku dan kuluruskan lengan yang sejak awal bersusun rapi menghalangi pandanganku. Aku melangkah pasti menuju batas tak berujung. Setiap tanya yang menghampiri, kujawab santai dengn alasan singkat dan penuh kebohongan.
“Dari mana Andi?”
“Les”
“Wah orang seperti kamu kelihatannya sibuk terus ya. Tidak salah jika kamu juara umum”
Hehehe andai ibuk itu tahu aku sedang bohong, jangankan pujian gamparan pasti mendarat dipipiku.Tapi nasib baik kali ini berpihak kepadaku. Sehingga aku selamat sampai rumahku nan senatisa sepi karena nyak-babe bekerja kemana pun belahan bumi membutuhkan ilmu dan jasanya selaku bussinesman.
Karena sekolah tidak berhasil menjalankan perannya sebagai “mak comlang” kerinduanu, akhirnya sore itu aku lansung menggilas badan jalan dengan sepedaku, Sudah lama aku tak melakulan hal ini. Karena selama ini dimanjakan barang mewah yang sebetulnya sangat mudah “memperlicin otakku”. Aku sering cendrung malas untuk berkreasi dengan hal yang berbau natural karena diracuni sesuatu yang bernama teknologi.
Dalam kayuhan  yang sangat kecang, aku berusaha meloncati bukit terjal itu untuk menuju rumah Denis sahabatku itu.Walau baju dan kulitku sudah berpadu indah, aku terus berjuang agar segera sampai didapur Denis. Karena aku sangat haus dan mungkin butuh secerek air. Mudah-mudahan emaknya tidak dirumah. Malu juga jika beliau tahu anak se cold dan cute aku ini ternyata rakus. Ketika sedikit lagi menggabai mulut bukit itu, tiba-tiba sepedaku melawan rotasi bumi. Ia berputar-putar tak tentu arah setelah dihinggapi kerikil cilik.
Sampai dibawah akupun terlempar kesisi terapes dari lahan sawah. Aku tertancap tepat diatas “kue tart” yang tengah dikukus dikubangan sawah. Hasilnya jangan kau bayangkan kawan, karena aku saja dua kali muntah gara-gara mencium aroma busuk duet maut kubangan dan “kue” tersebut. Sebenarnya tidak ada yang menyakitkan dalam insiden tersebut. Tapi karena begitu banyaknya antusiasme warga sampai dia mendapatiku berlumpur ria,tiba-tiba ada bagian tubuhku yang tiba-tiba terasa sakit tak karuan.
Jantungku dag-dig-dug tak karuan mencapai detakan tingkat dewa. Malu iya sedih apalagi.
Tapi diantara mereka yang cuma bisa merenungi insiden terhebat sepanjang sejarah hidupku itu, ada seseorang dengan penuh perhatian menolongku keluar dari dekapan kubangan sawah. Baik sekali dia. Sepertinya orang seperti dia sangat pantas untuk dijadikan teman sejati. Untung saja orang itu ternyata adalah Dimas. Tapi yang bikin kesal selanjutnya, dia malah yang paling keras tertawa sampai meneteskan jigong dan menungging-nungging menahan sakit perut setelah melihat dang mengamati dengan teliti kondisiku yang patut dikasihani.
“ lain kali mendaratnya ditambak atau diatas atap rumah warga gitu, biar lebih keren dan tragis lagi.”
“Mau mu!”
Hebat, insiden hebat yang lebih dari sekedar hebat. Nggak tahu lagi mau mendeskripsikan bagaimana, yang jelas apesssss deh.

No comments:

Post a Comment