![]() |
sumber: http://blog-senirupa.blogspot.com/ |
Anggrek dihalaman tiba-tiba melayu serumpun karena musim kemarau melanda bumi Indonesia terlalu lama. Satu rumah gempar mendapati fenomena menyedihkan itu, terutama pemiliknya. Wanita paruh baya itu tidak henti-hentinya beristigfar dan mengelus lembut tangkai yang mengering itu. Andai saja ada sedikit waktu untuk lebih memilih merawat mereka, tidak akan begini ujungnya. Sementara dibalik gorden rumah, sepasang mata polos hanya menatap satu tidak mengerti apa yang membuat wanita yang kerap ia panggil mama itu sebegitu perhatiannya dengan setangkai Anggrek ketimbang mengacuhan benda bermulut dan bersuara ini. Benda yang setiap harinya tidak pernah lelah memanggilnya mama. Tidakkah ia merasa terenyuh mendengaran sapaan manja Putri kecilnya?
Dengan berakhirnya nafas anggrek itu, dia fikir berakhir pula ketidak pedulian Martha kepada sang buah hati yang sudah lama mengemis perhatiannya dengan berbagai cara. Bahkan bocah sekecil dia selalu bela-belaan bangun subuh sebelum Martha demi membuatkan segelas teh hangat dan membakarkan roti. Bahkan untuk mengerjakan hal bebahaya yang dilirik sepintas remeh ini, Bocah cantik ini haru merelakan kulit mulusnya terkelupas karena diguyur air panas mendidih. Namun apa boleh buat, pengorbanan semacam itu masih belum cukup dan menyentuh martha.
Hari ini, didetik berkabung martha pada kematian anggrek kesayangannya, ruri sang buah hati dengan bijaknya menghampiri sang bunda dengan segelas air mineral. Ia tahu betapa melilitnya tenggorokan Martha menahan perih ditinggal mati benda kesayangan. Meskipun diganti dengan tumbuhan serupa, sepertinya nuansa itu sudah berubah. Jelas saja, anggrek itu pemberian orang spesialnya. Almarhum Doni, suami sekaligus ayah dari Ruri. Saking spesialnya, anggrek itu merupakan oleh-oleh terindah yang dibawa Doni dari hasil perjalananannya dari Irian. Ketika hendak menaiki sebuah bis, tiba-tiba ada yang menawakan sepot anggrek hitam yang coraknya begitu menawan. Karena tumbuhan ini langka, Doni segera menerimanya. Begitu pot itu sampai kehadapan Martha, doni sudah menebak Martha akan tersenyum lebar dan kegirangan merengkulnya karena koleksinya bertambah lagi dan tentunya membuat iri teman sebelah yang juga penyuka anggrek.
Tapi simbol kebanggaan Martha sudah binasa karena kesibukannya menjejakkan langkah didunia perkantoran. Berjibaku dengan file dan berbagai jenis meeting rutin. Hanya pembantu yang sesekali membantu merawat anggrek-anggrek kepunyaannya. Itupun jika sang pembantu lebih awal menyelesaikan tugas utamanya sebagai koki handal dikeluarga kecil Martha.
Diberi segela air bukannya berterima kasih Martha malah memarahi Ruri dengan alasan bocah itulah penyebab tanamannya mati karena dia malas menyiraminya.
Bocah yang tidak mengerti apa-apa itu larut dalam makian dan kemarahan Martha. Wajah polosnya tidak bisa menyembunyikan rasa bersalah ang teramat. Sebelum Martha mencoba mencubitnya atau memukuli pantatnya, dia lari ke kamar untuk berkurung diri. Dia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, lalu membayangkan lagi umpatan-umpatan kasar sang ibu.
“Dasar anak pembawa sial.” Air mukanya bertambah murung. Meski ia tidak paham maksud pembawa sial itu, namun setidaknya ia mengerti bahwa ibunya tidak suka dengan keberadaannya.
Sejenak kemudian Ruri bangkit dan membuka lebar lemarinya. Ia memunguti beberapa helai baju dan memasukkannya keransel sekolahnya. Ia bermaksud untuk pergi dari rumah ini. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk mencari anggrek pengganti yang telah mati. Sebelum berangkat, ia menghantamkan kepala celengannya ke tembok sampai menyembullah pecahan lima ribu. Uang itu merupakan jajan perhari yang didapat dari Martha. Namun bocah intar itu tidak pernah membelanjakannya karena ia lebih memilih membawa bekal yang selalu disiapkan sang pembantu.
Perjalanan di pukul 9 malam terlalu berbahaya buat bocah seumuran dia yang masih 7 tahun. Tapi tekad dan nekadnya mengaburkan kecemasan dan rasa takut yang harus membuatnya berlindung dibalik rok mama, atau menggulung badan dengan selimut agar bayangan hantu yang terlintas dipikirannya segera menguap.
“Bapak antar saya kebandara ya Pak.”
Supir taksi yang diajak Ruri bicara itu hanya diam dan heran. Bocah sekecil dia ada urusan apa kebandara sendirian dimalam ini. Tapi Ruri terlanjur mengambil posisi dibangku belakang. Dari kaca depan, sang supir terus memerhatikan bocah dengan tatapan polosnya itu. Dalam hati ia masih mengra-ngira ada apa dengan bocah cilik ini. Meskipun tugasnya hanya engantar sampai tujuan, pria yang di Idna bernama Suprato ini angkat suara dan menanyai maksud dan tujuannya kebandara dimalam ini.
“Aku mau ikut ke Irian.”
“Kamu sendirian?”
“Tidak, sama tante dan om.”
Supir itu mengira om dan tante yang dimaksud Ruri adalah orang terdekatnya. Padahal orang-orang tersebut adalah penumpang asing yang satu tujuan dengannya.
“Jadi kamu mau menyusul mereka ya.”
“Iya.”
Sang supir pun bernafas lega. Ia lansung menghentikan taksinya didepan pintu masuk kebandara. Dan bocah polos itu segera mengeluarkan beberapa lembar lima ribuan dari kantongnya. Karena kasihan, Suprapto menolak bayarannya. Ia lansung menginjak gas dan meluncur kearah barat.
“Makasih Bapak!” teriak Ruri dengan suara khas anak-anaknya. Dengan lari-lari kecil, ia segera menjangkau tempat pembelian tiket.
Karena tidak bisa menjangkau tempat itu, ia segera merebahkan tasnya dan menindih tas itu dengan kedua kakinya. Karena masih belum bisa menjangkau tempat itu, akhirnya ia memanggil seseorang untuk mengendong tubuh mungilnya.
“Om gendong aku dong, aku nggak bisa menjangkau tempat ini.”
Akhirnya diantara banyak orang yang dimintai pertolongan, muncul seseorang dan mengangkatnya agar bisa melihat wajah wanita cantik penjual tiket itu.
“Tante, tiket ke Irian harganya berapa?”
“Tunggu sebentar ya.....ehm kira-kira sejutaan dek....”
“Kalo aku bayar sama semua uang ini cukup nggak ya?” Ruri mengeluarkan semua pecahan lima ribu dari kantongnya. Ia menaruh semuanya diatas meja. Wanita berseragam orange itu mencoba menghitung jumlah uangnya.”
Dengan senyum gemes, wanita itu memberitahkan bahwa uang yang ia punya hanya sekitar 300 ribu. Lagi-lagi dengan tingkah polosnya ia menanyakan berapa rupiah lagi ia harus menambah agar bisa mendapatkan satu tiket.
“Berarti kurangnya 700 ribu.”
“Tujuh ratus ribu itu nolnya berapa tante?”
Petugas dan orang yang menggendong Ruri saling pandang dan tersipu malu mendengar pertanyaan polos Ruri. Lalu dengan kesabarannya sang petugas mengacungkan lima jarinya. Lalu Ruri mencoba menghitung,”Satu, dua, tiga, empat, lima, yah banyak dong!”
“Emang Adek mau ngapai ke Irian? Sendirian lagi?”tanya sang petugas dengan ramah. Ruri minta diturunkan dan kemudian ia melangkah gontai tidak menghiraukan pertanyaan petugas. Bahkan ketika petugas itu memanggilnya untuk mengembalikan semua duitnya, dia malah terus melangkah seolah tidak membutuhkan uang itu. Untung saja pria baik yang sudah menolong mengangkatnya tadi menyusul dengan kepingan senilai 300 ribu itu.
“ Adek ini duitnya.”
“Ambil aja om.”jawabnya singkat.
“Hahaha...ini kan uang kamu. Ayo disimpan buat beli permen atau es krim.”
Akhirnya Ruri mengambil lagi uangnya.
“Gimana kalau kita makan es krim?”
“Tapi om yang bayarin ya. Soalnya aku masih ragu untuk nggak ke Irian.”
Pemuda itu tersenyum geli melihat bocah kecil dihadapannya. Bukan hanya polos, ternyata dia juga cerdik. Betapa beruntungnya orang tua yang memiliki anak seperti Ruri.
Ketika asyik mengemut es krim duper besar yang dipilihnya barusan, Ruri membatin sendiri khas gaya orang dewasa ketika mencoba mencari solusi untuk masalah yang dihadapinya. Sebenarnya gaya semacam itu contekan dari almarhum ayahnya. Dia sering mendapati Doni terpekur dan membatin dalam aktu yang cukup lama, ketika ditanya, maka Doni menjawab,”Ayah sedang mencari solusi untuk masalah yang sedang ayah hadapi.” Kekurangan uang untuk meluncur ke Irian merupakan masalah besar baginya. Semakin lama ia dibandara, maka semakin besar masalah yang dihadapinya karena mungkin dirumah mamanya sedang dikompres karena demam memikiran kematian anggreknya.
“Ruri, kamu kenapa.”
“stttt,Om diam dulu deh. Aku sedang mencari sosuli masalahku.”
Pemuda yang baru saja memperkenalkan diri sebagai Wawan sewaktu Ruri asyik memilih es krim itu, tertawa lepas. Baru kali ini ia melihat bocah selucu Ruri. Solusi bisa saja berubah menjadi sosuli karena ingin dianggap serius. Itulah anak-anak, selalu menuntut untuk dibenarkan.
“Ah om, aku punya ide!” ucapnya sembari menjilati es krim yang sudah meleleh sampai ketangannya itu.“Aku mau jual baju-baju ditasku dan kalau udah dapat uang, aku bisa ke Irian deh.”
Ia mengeluarkan semua bajunya dan menggelarnya dibangku tersebut. Dengan suara khas anak-anak, Ruri berteriak bahkan menjerit histeris menawarkan bajunya. Ulahnya tak jarang menyita perhatian penghuni bandara. Mereka berduyun-duyun menghampiri bocah itu.
“Ayo beli...aku mau ke Irian, uangku kurang 700 ribu. Karena bajuku ada 6, aku jual 100 ribu. Dan tas ini juga 100 ribu.” Semua yang menyaksikan menduga wawan yang memaksanya melakukan perbuatan seperti itu. Mereka jadi berbisik satu sama lain mempergunjingkan wawan dan kemudian menatap haru Ruri.
“Anak kecil dipaksa nyari duit”
“Nggak bener tuh orang. Kuat-kuat tapi malas. Percuma ototnya gede.”
Wawan jadi tidak enak dengan mereka semua. Ia berusaha membujuk Ruri untuk menghentikan semua ini tapi anak itu malah ngeyel,” Om duduk aja deh, aku kan mau ngumpulin uang buat ke Irian, aku mau beli anggrek hitam buat mama.”
Wawan akhirnya mengerti kenapa Ruri begitu ingin ke Irian. Awalnya ia mau tertawa, karena untuk mendapatkan anggrek tidak musti ke Irian karena disini juga ada. Wawan memasukkan semua baju anak itu dan mengajaknya pergi kesuatu tempat. Ketoko bunga.
Ruri yang masi polos Cuma bisa menganga sejadi-jadinya dan kemudian melompat girang ketika anggrek hitam yang ia cari ketemu juga. Mendapati bunga yang penuh dengan kehati-hatian, ketelitian dan kesabaran dalam merawatnya itu, bagai menemukan sebuah mutiara ditengah padang pasir. Mengilau menyilaukan mata.
“Aku beli ini!” soraknya menyita perhatian pengunjung. Tapi mereka hanya tersenyum kepada Ruri. Maklum anak-anak.
Harga bunga itu ternyata sebanyak uang dikantongnya. Ia menolak Wawan untuk membayar. Karena ia ingin berkorban demi mama tercintanya.
Suasana rumah riuh berantakan seperti kaleng ditebar disana sini, lalu terinjak oleh kaki. Martha baru menyadari isi kamar anaknya hanya dihuni oleh tiupan angin yag mengalir dari lobang AC. Baju menyembul setengah jadi dari mulut pintu lemari yang tidak tertutup rapat, selimut dari tadi bersih terlipat seperti dilipat sang pembantu tadi pagi. Dimana bocahnya itu? Tahukah ia sekarang bocahnya sedang pergi mencari keegoisannya. Kesombongan yang mengetepikan cinta dan perhatiannya pada anak. Baru jam satu malam ia menyadarinya. Kemana sajakah ia jam-jam sebelumnya. Ibu yang baik dan penuh kasih sayang.
Dan sekarang ia baru merasakan perih dan kehilangan anaknya sampai air mata pun mengalir dari kedua matanya. Ia menelpon polisi dan melaporkan putrinya menghilang.
Sementara ditempat lain anaknya tengah berbahagia memegang dengan sangat hati-hati sepot bunga anggrek hitam yang menjadi sumber kemarahannya.
“Om Wawan, mama aku pasti senang kalo tahu ada anggrek hitam lagi. Aku janji deh akan merawat anggreknya seperti menjaga adekku sendiri.”
“ Iya, sesama makhluk kita nggak boleh menyakiti.”
Ketika asyik mengamati corak dari anggrek itu, tiba-tiba ada yang menyenggol Wawan. Pria itu ternyata mengambil dompetnya.
“Eh mau kemana lu. Ruri kamu disini aja ya. Om mau ngejar orang itu dulu.”
“Iya Om.” Ruri segera menepi dan menaruh pot anggrek itu disudut tembok. Dan Wawan berlari memutar balik untuk memperangkap pencopet itu. Beberapa orang termasuk keamanan bandara ikut bergerak. Mereka main kejar-kejaran memutari satu bandara. Tiba-tiba pencopet itu menyambar Ruri yang malah beranjak dari tempat Wawan meninggalkannya.
“Om lepasin, om siapa?”
“Diam!!!”
“Om yang diam, mulut om bau!!”teriaknya polos sembari menutup hidung. Pria sangar itu menutup mulut ceriwis Ruri. Wawan dan semua orang terhenti mencari cara agar pencopet itu membebaskan Ruri.
“Lo semua stop, gw bakal jatuhin anak ini ke bawah.”
“Eh lepasin dia!”
“Diam lo..!!”
Ruri meronta dan mulai menanggis minta dilepaskan. Berkali-kali ia menendangkan kakinya agar dilepaskan, tetapi pencopet itu malah mengancamnya.
“Gw matiin lu.”
“Om Wawan!!!”
Sejenak kemudian, akhirnya Ruri punya ide cemerlang. Karena dia masih membawa pot anggrek, akhirnya dia berfikir untuk memecahkan pot itu dikening sang pencopet. Dengan perhitungan yang matang, Ruri melayangkan tangannya kebelakang, dan sesaat kemudian pot yang dilemparkannya itu tepat remuk diatas kepala sang pencopet. Ketika pegangannya terlepas, Ruri melompat dan kabur kearah Wawan.
“Hahahaha Rasain deh lu Om!” Soraknya jenaka.
“Kamu nggak apa-apa?”
“Nggak om. Tapi,”tiba-tiba Ruri bersungut-sungut dan meledakkan tangisnya,” Bunga anggrek mama!!”
“Ya ntar kita beli yang baru, ok.”
“Nggak mau, aku mau yang itu.”
“Mas ini dompetnya, coba dihitung lagi apa jumahnya tetap.”
Wawan mencoba menghitung uang yang awalnya akan ia pergunakan untuk membeli sebuah tiket penerbangan ke Surabaya. Karena kehabisan tiket, ia harus batal menemui saudaranya yang baru saja pulang dari luar negeri untuk mencari ilmu.
“Pas bapak. Terimakasih.”
Pencopet itu segera digiring oleh petugas keamanan. Namun Ruri mencegat mereka.
“Om wawan gendong aku.”serunya datar dan penuh nada dendam. Tiba-tiba tangannya melayang kebelakang dan,”dush” kepalan kecilnya mendarat dikening sang pencopet,” aw sakit” malah ia yang mengerang kesakitan, “jadi orang jangan suka mencuri, sakit kan dipukuli? Bekerja dong. Udah dewasa masak nggak bisa kerja. Payah! Ayo om kita pergi.”
Ruri masih sedih jika mengingat nasib anggrek hitamnya tadi. Dia mau minta Wawan membelikan untuknya yang baru. Tapi dia khawatir kalau Wawan tidak bisa membelikanya. Namun sepertinya Wawan dapat menangkap pikirannya. Ia lansung berputar arah dan memarkir sepeda motornya didepan toko bunga.
“Mas ada anggrek hitam nggak? Aku mau beli satu. Jangan mahal-mahal ya, kita habis kecopetan. Lihat nih tangan aku masih merah gara-gara dipegang keras-keras sama om botak itu.” Dia malah curhat pada pemilik toko itu. Untung beliau tipe orang ynag sayang anak-anak.
“Ya udah deh saya kasih diskon. Emang mau yang mana?”
“ Emang anggrek hitam ada warna lain ya?”
Masnya tertawa geli melihat tingkah polosnya,”maksud saya dari beberapa pot ini, adek pilih yang mana?”
“ oh, yang itu deh. Yang banyak isinya.” Dikira makanan kali ya pakai acara memilih yang isinya banyak.“Mas penghasilan sebulannya berapa? jutaan ya? Yang nolnya lima tambah?”
“Hahaha...kira-kira segitulah dek.”
“Berarti mas bisa ke Irian dong beli anggrek hitam?”
Sekali lagi pemilik toko tersenyum gemes kearahnya. Masih kecil, udah pintar ngomong.
“Makasih ya mas, ntar besok aku kesini lagi deh ngeliat anggrek yang leih banyak isinya.”
“Ditunggu ya”
“Om, gawat aku ngantuk. Biasanya jam segini aku udah tidur. Gendong dong, aku mau tidur nih.”
Wawan menggendong bocah cerdas itu dengan senang hati. Sepertinya ia sudah merasa Ruri adalah adik sendiri. Dia begitu lucu dan sangat ekspresif. Andai Ruri benar-benar adiknya, barangkali kesepian dan suntuk itu hilang dari sifat kesehariannya.
Kedamaian yang damai antar sahabat berbeda usia itu, ternyata terancam berakhir dari semak belukar, berpasang mata terus mengawasi gerak gerik mereka. Mengancam setiap bayang yang mengikuti derap langkah sepatu Wawan. Tanpa disadari, tiba-tiba pemilik mata itu melompat keluar semak dan mengarahkan senjata berbahaya kearahnya. Wawan dan Ruri terpranjat hebat.
“Jangan bergerak! Tetap ditempat, turunkan anak itu!” ternyata mereka polisi yang beberapa waktu lalu sibuk mencari keberadaan bocah yang dilaporkan hilang itu. Merea mengira Ruri sudah diculik Wawan.
“Om mereka siapa?”
“ Ruri kesana aja ya, Om baik-baik aja kok.”
“Nggak mau, Ruri takut.”
“ Ruri tenang, kita dari polisi mau menyelamatkan kamu dari orang itu.”
Ruri berkacak pinggang dan menatap tajam pria berpakaian preman itu. Nafasnya naik turun dan kemudian dia melakukan sesuatu yang tidak diduga. Ia menyeruduk salah satu dari polisi itu. Menggigit tangan pria malang bertampang sangar itu.
“Rasain kamu. Kamu pikir aku tidak tahu kalau sebenarnya kamu itu orang jahat.” Ruri kembali ketempat Wawan,” Ayo Om, aku sudah membereskan mereka. Om nggak usah khawatir lagi, nggak bakalan ada lagi yang akan nyakiti Om,”katanya sok jadi pahlawan. Namun kali ini Wawan tidak mau beranjak. Dia tidak ma menyulitkan tugas polisi. Dia malah mendekati polisi dan menyerahkan Ruri. Kasihan orang tua yang kini mencari keberadaannya.
“Ruri!!” tiba-tiba seorang wanita yang masih mempertahankan penampilan modisnya disaat genting seperti ini, lari tergooh-gopoh karena high hillnya yang hampir mencapai 15 cm itu membatasi gerakan cepatnya. Ia lansung menangkap bocah kecil itu dan lansung melirik sinis kearah Wawan.
“Ma kenalin ini Om Wawan. Dia baik lho. Oh ya ini Anggrek hitam buat mama. Tadinya aku mau nyari ke Irian. Tapi uang aku Cuma 300 ribu. Kata tante disitu, aku harus nambah 700 ribu. Nolnya itu ada lima katanya.”
“Apa? Ngapain kamu harus keIrian.”
“ Aku nggak mau ngeliat mama sedih terus karena anggrek mama mati.”
Penyesalan mengalir dari hati Martha dan terlukis jelas dari air mata yang mengalis dipipinya. Jadi itukah alasan yang membuat Ruri sampai meninggalkan rumah. Dia pikir ada seseorang yang mau menculiknya. Tapi siapakah pemuda itu.
“Anda siapa?”
“Om wawan itu yang nolongin aku ma. Nemenin aku nyari anggrek. Katanya disini anggrek juga ada.”
Akhirnya mereka semua menghadap kekantor polisi. Dan posisi Wawan disini lebih dari sekedar melengkapi laporan. Bukan untuk diinterogasi sebagai pelaku penculikan yang awalnya sempat diduga semua pihak.
Setelah menyelesaikan berbagai wawancara, Wawan dibebaskan dan Ruri yang sudah tertidur pulas dipangkuan Martha, dibawa pulang. Dalam perjalanan pulang Martha terus menciumi anaknya itu. Ternyata anak yang selama ini sempat terabaikan, memiliki perhatian yang begitu besar terhadapnya. Ia menyesal telah melakukan kesalan besar dalam hidupnya. Sejak itu ia berjanji untuk tidak menyia-nyiakan Ruri.
No comments:
Post a Comment