"Nasi uduuuk. nasi uduk kak?"
kemana pemilik suara itu kini. Biasanya jam segini ia sudah mulai
menjelajahi kosan sampai tempat terpucuk dilantai tiga sembari
mengatakan "nasi uduk" dengan suara datar namun bagaikan magnet yang
membuat para penghuni kamar tertarik menarik gagang pintu dan berteriak,
"ibu saya mau beli!"
ibu nasi uduk, begitu biasanya kami memanggil wanita latah itu, sudah
hampir seminggu tidak menyapa kami dipagi buta seperti pagi-pagi
sebelumnya. khusus bagiku pribadi, suaranya adalah alarm yang akan
membuatku segera berpindah kesadaran dari dunia mimpi menuju dunia yang
terang menderang karena disinari mentari. Bahkan ketika kantuk masih
memaksaku mengelem mata, namun karena mendengar bapak kos atau sesuatu
memancing kelatahannya, akhirnya rasa kantuk itu membuyar dan akupun
sibuk memperbaiki mulut yang tiba-tiba nyengir geli mendengar latahan
tersebut.
Pagi itu sepertinya perut yang kempis dan udara pagi yang begitu
dingin memaksaku untuk mengakui bahwa aku lapar sekali. selain tidak
cukup uang untuk membeli beras karena tanggal tua, akupun tidak cukup
waktu untuk melayani kebutuhan perut lantaran kesiangan. dan disaat
seperti inilah aku merasakan betapa mulianya jasa seorang ibu nasi uduk.
hanya dengan tiga ribu rupiah, aku bisa memanjakan cacing didalam perut
disaat lapar sudah mulai mengibarkan bendera perang dengan seporsi nasi
uduk. Aku jadi menyesal ketika ibu nasi uduk lewat sembari berkata,"
nasi uduk" dalam hati aku ikut mengatakan perkataan itu karena bagiku
intonasinya sangat lucu dan unik, apalagi ketika latahnya kumat aku
sudah tertawa sendiri dikamar menyimak kekonyolannya. Namun ketika lapar
ternyata beliau ngangenin.
Afra dan Virla mendapatkan ilham sehingga hatinya tergerak untuk
menanyai ibu nasi uduk demi menjalankan tugas cost accounting. lhoh.
sing penting itu budak beduo tuh dah tau napo caknyo ibu nasik uduk dak
galak lagi jualan nasi uduk.. aih abdi teh nyarios naon nya? balik
kebahasa indonesia yang baik tapi ngabal. Menurut curhatan bu ule, (nama
asli beliau) sebenarnya akhir-akhir ini beliau sama sekali tidak
mendapat untung, malah sering merugi. hal ini disebabkan oleh "the
invisible hand"(bukan teori yang dibikin bapak adam smith lho) yaitu
tangan-tangan siluman yang sering mengambil gorengan ganda namun ketika
uji barcode terhitung satu. gorengan yang seharusnya dibayar 4000 untuk 8
buah, hanya dibayar dua ribu lima ratus atau tiga ribu. Akhirnya hari
ini sekalipun tidak pakai tikar, bu Ule terpaksa gulung tikar. modalnya
habis untuk menutupi kerugian yang dialami pada periode sebelumnya.
Semenjak mengundurkan diri dari dunia perniagaan, Bu Ule tampak lebih
sering duduk di bawah pohon pinggiran parkiran demi melihat kegiatan
anaknya yang sedang sibuk memandu mobil mewah para "pawang uang" untuk
mendapatkan posisi terbaiknya dilahan parkiran. tidak ada yang bisa ia
lakukan sekarang kecuali menatapi hilir-mudiknya orang kaya dengan
berbagai tipenya. Kita tidak pernah tahu apa yang beliau pikirkan ketika
itu, hanya saja dari wajahnya aku bisa melihat ada keinginan lagi untuk
menjadi andalan anak kosan Alamanda ketika perut mereka keroncongan.
Duduk terdiam seperti ini rasanya membuat tulang yang tersusun dibalik
tubuhnya yang sudah mulai terhuyung kedepan itu, terasa remuk dan
sakit-sakitan. ia ingin bergerak sekalipun sampai puncak tertinggi kosan
demi memakmurkan sumatera tengah para mahasiswa yang kelak akan menjadi
pilar perekonomian bangsa ini. Ingin sekali membantu buk Ule menemukan
secercah cahaya yang mampu mengembalikan senyum semangat dibibirnya.
tapi bagaimana caranya, tidak cukup rasanya hanya mendengarkan
curhatannya, demi menjawab pertanyaanku kuundang semua teman untuk
memberikan pemikirannya. ayo teman kita pecahkan masalah ini bersama. Bu
Ule merindukan teriakan kita "ibu saya mau beli."
No comments:
Post a Comment