"dalam diam kupandangi alam disekitarku. mengapa semua mengabur dan kemudian menghitam. meski pekat memerangkap langkah, kucoba untuk terus mencari secercah cahaya. cahaya yang akan menuntunku keluar dari penglihatan hitam legam ini. Tersungkur dan terbentur akupun hampir berputus asa. Masih dalam diam kubuka kedua mata dan dunia kembali menunjukkan warnanya. Mentari tersenyum merekah, angin menyapa lembut dipipi, dedaunan yang berguguran menghampiri dan berpusar disekitar langkahku seolah menawarkan sebuah persahabatan.
Masih dalam diam kumaknai detik demi detik perpidahan arah jarum jam. Bukanlah dunia yang kelam melainkan mataku yang terpejam."
Bukankah sangat sulit ketika mata yang selalu membantu kita untuk membedakan warna, membaca tulisan dan menjadi petunjuk arah bagi pergerakan tubuh ini, dihilangkan kemampuannya sehingga kita hanya bisa melihat hitam dan putih berasap. Jelas saja kita tidak akan mampu.
Terlahir rabun membuat wanita ini tidak langsung menyerah menghadapi takdirnya. Ia berusaha beraktifitas seperti orang lain meskipun pemandangan disekitarnya seperti hasil kertas foto kopi. Ia pernah mencicipi ilmu pengetahuan di Sekolah Dasar. Namun hanya mampu sampai kelas 2. Karena dengan penglihatan demikian cukup menghalaginya untuk memahami apa yang sedang dituliskan sang guru. Walaupun hanya sampai kelas dua SD wanita yang bernama Saiyar ini tumbuh menjadi seorang yang cakap dalam berniaga. Ia bisa membaca maupun menulis namun sayang tidak bisa mengetahui berapa jumlah jajanan yang seharusnya dibayar oleh "langganan ciliknya" itu. Dengan kondisi demikian ia sering dicurangi anak sekolah. Namun entah mengapa ia tidak pernah kapok berjualan buah dan manisan di sekolahan. Baginya anak sekolah itu sudah seperti cucunya sendiri. Jika mereka tidak jujur itu urusan mereka, yang jelas ia tidak pernah dendam jika tahu ada yang mencuranginya.
Seiring berjalannya waktu dan pasca kecelakaan yang menyebabkan beberapa saraf matanya putus pada tahun 1999-an, Saiyar kehilangan penglihatannya 5 tahun menjelang menutup mata. Karena sudah tak bisa berjualan ia hanya mengisi waktunya dengan mendengarkan radio dan tidak pernah absen menyimak siaran Jam Gadang. Jika ingin beranjak dari tempat tidur, wanita yang kupanggil emak ini mempercayakan sebuah tongkat untuk menuntun langkahnya. Meski demikian terkadang tongkat itu kurang akurat. Hingga emak pun kejeduk keras di ujung pintu atau kehilangan arah sampai ia meminta seseorang menunjukkan jalan menuju kamarnya.
Suatu hari ia pernah memintaku untuk mendekatkan wajahku. Lalu perlahan ia meraba wajahku. "Cucu emak kini alah gadang (besar). Tambah rancak (cantik)." Ketika itu dadaku sesak menahan tangis. Karena penasaran akupun bertanya tentang selain gelap apa lagi yang bisa ia lihat. 'Kalau silau melihat warna merah dan kadang-kadang putih berasap'. Kuraba mataku dan akupun bergumam, "mata yang bisa melihat ini keturunan seorang yang rabun. Alhamdulillah Allah telah menyempurnakan penglihatanku. Maka aku harus menggunakannya dengan bijak."
Sepantasnya kita menyukuri nikmat Allah yang Ia titipkan melalui penglihatan ini. Selama Ia mengizinkan kita untuk menyaksikan langit dengan 'butiran berlian"bintang, melantunkan kalam samawi yang termaktub di dalam Al-Quran maka syukurilah dan pergukanan dengan baik.
Saiyar, barangkali aku sudah tidak bisa melihatnya kecuali mengingat wajahnya. Tapi apakah sekarang ia sudah bisa melihatku dari sana dan tersenyum kepadaku sembari berkata, "ternyata cucuku sudah besar. Dan sekarang sudah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa". Wallahu 'alam. Emak semoga Allah menerangi kuburmu. Banyak hal yang kau ajarkan kepadaku, bagaimana bersabar dan bersyukur atas ketetapan Allah. Allahumagfirlaha warhamha.. :)
No comments:
Post a Comment