![]() |
source: unsplash.com |
Karena keduanya sudah mulai dijalari ketakutan, kurasa kedepan semuanya harus lebih baik dan apa yang kuinginkan harus lebih sempurna. Sebelum tangan dan raga hanya bisa memerhatikan seseorang berbuat hal yang serupa dan sebelum aku tidak bisa mengatakan bahwa ia telah menjiplak kreatifitas yang masih berayun diotakku.
Baru saja kubaca diberita bahwa seorang remaja yang usianya hampir sebaya denganku mengembalikan nyawa dan raga yang dipinjamkan sang Ilahi hanya karena ia gagal mengukir prestasi sehingga membuat salah seorang anggota keluarga malu dan akhirnya terpaksa meniadakannya dimuka bumi ini. Otakku langsung berfikir, mengapa keluarga begitu tega dan mengandalkan egonya ketimbang memberi kesempatan seluasnya kepada sang korban untuk menemukan waktu yang tepat. Dalam lamunan yang begitu mendalam kuputuskan dalam hati bahwa ia belum berprestasi karena mungkin selama ini orang terdekatnya terlalu berambisi menginstruksi keinginan mereka ketimbang memberikan kelonggaran kepada sang korban untuk berprestasi dengan cara sendiri. Sebenarnya bukan ini yang ingin kuungkapkan dalam episode pembatinanku, karena dibalik kisah ini aku bisa mengambil sepetik pelajaran berharga.
Aku selalu berada dipihak beruntung, karena semua yang kulakukan selalu mendapat dukungan dari keluarga. hanya saja nasibku mungkin sama seperti sang korban, waktu yang tepat belum berpihak kearahku. Namun demikian ibu maupun ayah tidak pernah membelalakkan mata dengan maksud mengancamku bahkan sampai berniat membunuhku. Meskipun mereka sudah sebaik itu, tetap saja lingkaran itu belum berubah menjadi garis yang lurus, sehingga sampai saat ini aku masih terperangkap dalam usaha yang sama dan berpusar-pusar selayaknya gasing.
Ketika kebingungan membentuk "aksi" dan meneriakkan agar aku segera menemukan solusi, akhirnya sebuah cahaya memantul tepat dibola mataku. Meskipun tidak bermaksud menyentuh namun kenyataannya salah satu tulisan teman telah menamparku habis-habisan. mengapa motivasi yang awalnya menggebu-gebu tiba-tiba melemah seperti baterai hp yang tinggal 15%. Motivasi berkurang karena faktor-faktor negatif yang dapat menguras emosi. apa iya begitu, fikirku. dalam tulisan yang cukup apik dan sangat detail ia menjelaskan argumen seorang ilmuan yang sampai sekarang belum bisa kuingat karena waktu itu aku hanya ingin membaca penjelasannya, Kemacetan dan sering membaca atau mendengar hal-hal yang membangkitkan emosi akan membuat kita jengah, sehingga pada waktu itu kita mulai sedikit demi sekit kehilangan motivasi. apa benar begitu? pikirku lagi.
Tak lama berselang waktu kemudian tulisan-tulisan itu seolah-olah hidup dan membayangi hidupku. Dan akupun secara sportif menganggukkan statement ilmuan yang dikatakan temanku itu. Ya, tepat sekali macet membuatku muak, berita dan kabar buruk terlalu sakit untuk didengarkan ataupun dihadapi. Tubuh tegapku condong kedepan, deru nafasku hanya irama kegusaran, tatapan mataku kosong seakan tak bertuan, hidupku lebih hambar daripada sepotong roti.
Menikmati hidup, ya itulah kunci yang seharusnya kubawa kemanapun kupergi. Menikmati tak mesti duduk disebuah kursi goyang lalu membiarkan para badut bertingkah lalu mencuri tawamu, melainkan bergerak, berbuat dan bertindak. Apalagi karena batas itu, aku semakin punya alasan untuk menikmati apa yang seharusnya membuatku bangga telah terlahir kedunia ini.
Sebelum desir angin mengabarkan kenyataan bahwa nikmatnya hidup hanya akan terus menjadi angan dan impian manusia bodoh sepertiku, aku harus bangun. Membuka kedua mata yang terlanjur nyaman dengan fatamorgana mimpi, membiarkan badan bergerak mengikuti alur yang tersedia dipanggung kehidupan ini. Bangun dan nikmati hidup, ya sepertinya harus demikian. Karena hanya dengan itu aku bisa membangunkan motivasi dan kehidupan yang seharusnya kujalankan. Meski terasa singkat, setidaknya aku merasa hidup lebih lama dari umur yang kumiliki, setidaknya begitu yang kurasakan diakhirnya.
No comments:
Post a Comment