Bagiku seni adalah titik, biarkan sejenak kulukis indahnya dunia ini dengan titik-titik yang bermakna.

Jika Layar Terkembang

Source: unsplash.com
Dimana kini bintang yang selama ini membentuk rasi di langit malam? Sebatas malam kemarin sajakah? mengapa kini tiada bintang? Bumi yang kelam mengunci persendian, mengakukan langkah. Tiada secercah cahaya dapat menuntun.
Kala mata menguap bersama kegelapan yang membungkus sepanjang malam, pagiku suram tanpa bayang. Sang mentari terbelenggu dibalik mendung. Kini lengkaplah kerisauan ini. Akan ku apakan pagi suram ini? Apa harus mengurung diri, dan membiarkan dunia beraktifitas dibalik tirai jendela kamarku.
Dia yang mulai meracuni cara kerja otakku, dia yang menghembuskan hasutan-hasutan bervolume didinding telingaku, lalu dia yang pergi meninggalkanku disaat semua sudah berpondasi dan tengah menjelma menjadi dinding kokoh. Aku benci! Aku benci harus terseok-seok ditengah jalan tanpa rambu-rambu ataupun pemandu. Dan aku takut membuka mataku untuk mencari perlindungan, karena dunia membuatku terasa kecil. Aku kehilangan nafas karena sebagian oksigenku dirampas angin yang berlalu.
"Jika layar terkembang ,seorang pelaut tidak akan pernah surut untuk bertarung dengan badai. Jika berani bermimpi besar, harus pula berani untuk berjuang sampai keringat berganti darah." Begitu kata-kata yang menjangkit menjadi vaksinasi virus minderku. Lalu ia mendekat dan bertanya apa cita-citaku. Aku yang saat itu baru saja terluka oleh cemoohan umat terhormat bernama manusia sedikit sungkan untuk menjawab. Tapi dia menguatkanku.
"Beri tahulah saya walau dalam sepatah kata"
"Sastrawan,"jawabku memagut malu dengan ragu. Seketika roman wajahnya berubah. Aku sangat yakin ia akan mengguncang perut dan tak tahan untuk ke kamar mandi karena geli melihat bocah ingusan remeh sepertiku akan bercita-cita jauh dari standar kemampuanku. Namun fakta adalah bukti nyata. Ia tersenyum bangga dan memusatkan perhatiannya kearah pupil mataku."Kamu tahu, tidak banyak orang yang memiliki cita-cita semulia itu. Banyak orang diluar sana lebih suka meniru budaya barat dan mengagung-agungkannya. Pertahankan cita-citamu Nak". Tak ada yang bisa ku jawab kecuali anggukan yang tidak berbekas.
Hari berikutnya terasa berubah. Setiap bertemu Ia selalu mencipratkan kalimat motivasi. Sehingga akhirnya pohon yang condong berdiri kokoh, daun yang mengering hijau kembali, warna yang suram cerah berseri. Dan akupun mulai percaya diri. Setiap event yang selama ini ku anggap hanya milik anak kebanggaan guru tertentu, kini mulai kuikuti satu persatu. Tak peduli betapa hebat diriku nanti, tak peduli apa yang akan terjadi dengan karyaku ketika sudah ditangan redaksi. Apakah diterima atau dieksekusi ke kali. Yang jelas aku ingin menulis.
Disuatu senja mendung, tiba-tiba ponselku dihubungi salah satu perusahaan percetakan. Mereka memintaku untuk merampungkan karya terbaikku untuk dikonsumi pembaca setia Indonesia. Ketika mendengar kabar itu, aku lansung ingat pak Mizwar, pria yang menyebabkan pola pikirku berubah total. Rasanya ingin lari kerumahnya dan menumpahkan keharuanku. Tapi saat itu aku harus menyelesaikan novelku. Untuk meraup kesempatan itu, aku rela meliburkan diri selama satu minggu dan fokus bekerja dikamar.
Setelah satu minggu berlalu, sampai akhirnya naskah yang kuketik telah sampai ketangan penerbit. Selama penatian itu, tiba-tiba angin rusuh mengobrak-abrik pendirianku. Bahkan badai ikut menghancurkan pertahananku. Orang yang masih kuharapkan mendampingiku dalam meniti karir dan cita-citaku dipanggil Ilahi akibat kecelakaan mobil melempar ruhnya sampai kepintu kematian. Aku tidak pernah menduga sedikit pun semua ini akan terjadi. Padahal aku sudah berencana untuk memperkenalkannya kekhalayak ramai siapa yang menjadi tongkatku, tinta bagi pulpenku. Tapi Tuhan punya rencana yang lebih indah. Pak Mizwar diberi kehormatan untuk melihat buah kerjanya dari alam keabadian bersama malaikat surga lainnya.
Dan setelah beberapa tahun sepi sendiri tanpanya, akhirnya aku bisa meletakkan diatas pusaranya bukuku yang keseribu. Angka yang membuatku begitu berambisi untuk menjadi seorang penulis dan sastrawan."Terima kasih Bapak,"tuturku menatap dalam kearah batu nisannya selayaknya yang ia lakukan kepadaku dulu.

No comments:

Post a Comment